Selasa, 03 Juli 2012

bapak punya cerita #1


“Murni berani ke tempet Mbah Kakung sendiri?”
Pertanyaan Bapak saat saya memasuki sekolah dasar. Tentu dengan aksen ngoko alusnya.
“Enggak..”
“Kalau jadi perempuan itu harus berani..” Bapak melanjutkan.
“Nggeh, Murni wani ah teng nggene Mbah Kakung!” “Oke, Murni berani lah ke rumah Mbah Kakung sendiri”.
Anak Bapak ada tiga dan semuanya adalah perempuan. Saya anak kedua beliau sekaligus anak yang paling bandel dan suka ngeles untuk urusan dimarahi orangtua. Keluarga besar tahu itu. Dan saya satu-satunya anak Bapak yang waktu kecil pernah diperiksakan ke dokter untuk memastikan apa saya benar-benar anak perempuan atau laki-laki. Yah, saya lebih memilih mobil-mobilan daripada boneka barbie, saya lebih memilih keluar main dengan Pak Lik untuk menonton bola di alun-alun daripada main rumah-rumahan dengan mbak atau tidur siang bersama Ibu. Dan saya dulu mempunyai jakun layaknya bocah lelaki. Jakun ini lah yang bapak periksakan karena menurut bapak hal itu tidak wajar dimiliki saya sebagai anak perempuan. Tapi dokter tentu dengan simpul senyumnya memberikan jawaban yang sangat pasti bahwa saya adalah perempuan asli! Dan yang ada di leher saya bukan jakunnya anak laki-laki. Tapi tulang tenggorokan yang menyembul dan bisa hilang seiring dengan waktu. Titik. Meskipun sampai sekarang saya lebih memilih membantu Bapak nyuci motor daripada membantu Ibu dan mbak masak di dapur. Oke, intinya kalau urusan memasak saya sangat nihil. Tanda kutip ‘masih’ nihil.
Dengan latar belakang yang demikian, mungkin wajar saja kalau saya menuruni karakter Bapak yang dominan. Mulai dari fisik, hobi, makanan, kebiasaan sampai cara memandang sesuatu, Bapak lah yang mendominasi pada diri saya. Tapi tempaan orangtua untuk mendidik semua anaknya tidak dibedakan. 
Entah karena Bapak hanya memiliki anak perempuan, atau memang Bapak memiliki ideologi demikian untuk mendidik anak. Bapak selalu menempa anaknya menjadi pribadi yang menurut saya karakter yang harus dimiliki anak laki-laki. Bapak sama sekali tidak memanjakan anak-anaknya. Bahkan mendengar saya mengeluh saja Bapak amat tidak senang. Saya jadi ingat waktu kelas 10 saya kecelakaan motor saat berangkat sekolah.
“Pak, Murni kecelakaan. Ini nabrak angkot yang lagi berhenti di tikungan”
Jawaban Bapak dalam balesan sms begini:
“Masih bisa make motornya buat pulang kan?” 
Teman saya langsung komentar “Bapakmu kok gitu Mur? Nek Bapakku udah pasti nyusulin aku lah saking khawatirnya”
Dengan senyum simpul saya hanya menjawab “I know who he is”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar