Jumat, 30 Maret 2012

pendakian Merbabu

“bukan hanya dengan kata kita bisa berbagi, tapi hanya dengan keceriaan saja saya bisa yakin bahwa kita memang benar-benar saling berbagi”

Pemandangan spektakuler nyanyian alam dengan kolaborasi pohon-pohon kokoh menggeliat angkuh mengiringi perjalanan kami. Sekali lagi kami dikejutkan dengan lintasan angin yang menggerogoti persendian. Badai! Badai gunung sudah tiba sebelum waktunya. Bukan bukan, memang kami yang datang dan pergi tanpa perjanjian dengan badai terlebih dahulu. Mungkin ini yang disebut dengan sial. Ah. Badai membuat langkah kami tertahan luar biasa. Seharusnya pendakian ini tidak amat beresiko mengingat Merbabu terkenal jalur yang santai dan aman bagi pemula. Tapi dugaan saya salah, gemuruh angin membawa alergi dahsyat pada saat itu. Mungkin ini waktunya kami mengistirahatkan mata yang sedari tadi sudah digandrungi perasaan serba salah.

         Belum tiba pada puncak tertinggi Merbabu, kami sudah dipaksa untuk menyerah dengan tuntas dibawah sabana satu. Pendirian dome percuma pada badai yang kian mengganas. Akhirnya, tidur seadanya dengan selimut jas ujan yang menempel dibadan sedari tadi.  Menit demi menit berlalu hingga suara gaduh kami dibungkam dengan alunan badai yang membuat siapapun merinding mendengarnya. Kami semua tidur dengan pikiran kami masing-masing.
            Dingin yang mulai menelisik menyadarkan saya pada tidur yang kurang nyaman. Ujung-ujung jari kaki sudah tidak merasakan keberadaannya. Dan telapak tangan? Jangan ditanya, dia sudah hendak lari dari persendiannya karena sudah tidak tahan pada tiupan badai. Saya mulai menggigil. Telapak tangan yang hampir lepas dari persendiannya ini sudah semakin menjalar mengajak bagian tubuh lainnya melarikan diri dari sendinya masing-masing. Saya menyerah.
            Belum-belum menarik diri dari kondisi yang menyakitkan, kehadiran teman-teman semua sudah memberikan atmosfer tersendiri di pikiran saya. Kalau saja waktu itu bisa meringankan apa-apa yang memberatkan mereka, sungguh saya akan melakukan apa pun yang saya bisa. Maaf teman-teman, saya merepotkan. Saya tidak tahu kenapa bisa begini, yang saya tahu, tangan sama kaki udah kaya di tusuk habis-habisan sama jarum yang super lacip!
            Akhirnya, meski puncak Merbabu belum berhasil kami lalui. Tapi seperti kata temen saya, dari sini kami belajar untuk berbagi dan peduli. Dari tempat yang tidak semua orang tahu dan tidak juga semua dapat menjangkaunya. Turun dengan perasaan sukacita sembari menyungging senyum meninggalkan setapak demi setapak jalur pendakian yang menempel di badan gunung yang angkuh. Jalur Selo, Boyolali.


Semakin tinggi gunung didaki, semakin rendah hati seorang pendaki
Semakin banyak puncak dipijak, kian hidup arif dan bijak
Semakin banyak hutan belantara dijelajah, semakin banyak pula kesalahan yang diperbaiki
Alloh bersama orang yang berani dan beriman
(Zaid Al-Kashafi)