Sabtu, 06 September 2014

Merindukan Ibukota


Jakarta memang keras dan penuh dengan ambisi. Ambisi dan semangat juang yang tidak hanya terlihat dari gedung pencakar langit yang angkuh, atau wara-wiri dan sorotan mata pekerja yang tak saling sapa.
Semangat juang juga ditunjukkan pada sosok sosok pinggiran yang selalu menuntut perhatian. Sosok sosok ‘terbuang’ yang selalu ‘dianggap’ mengotori ibukota. Joki, pengemis, pedagang keliling dan tentu saja pengamen. Belum lagi yang merangkap sebagai copet, penipu atau tukang todong. Semangat juang yang entah hanya sekedar menyambung hidup atau memperkaya diri.
Semangat juang yang tentu pada suatu titik akan membuat saya sadar dan deg, thats life. Dan saya belajar lagi untuk memahami hidup dari mereka.

Mungkin saya tidak akan sadar diri dan bersyukur kalau belum bertemu dengan para joki 3 in 1 yang hampir setiap pekan sekali di hadapan saya, mereka berlarian dan menghalau pukulan serta teriakan para satpol pp.
http://www.jakpro.id/wp-content/uploads/2014/05/pengemis.jpg
Mungkin saya tidak akan sadar diri dan bersyukur kalau belum bertemu dengan para pengamen cilik yang menantang bahaya berkejaran diantara kopaja satu dengan kopaja lainnya untuk mendapatkan recehan.
http://ladeva.wordpress.com/tag/pengamen/
Mungkin saya tidak akan sadar diri dan bersyukur kalau belum bertemu dengan orang turun dari taksi yang kemudian berganti baju rombeng di belakang halte sebelum mengemis di pinggiran masjid.
http://www.merdeka.com/jakarta/ramadan-pengemis-berkedok-penyapu-jalan-marak-di-jakarta.html
Mungkin saya tidak akan sadar diri dan bersyukur kalau belum melihat pedagang kerupuk dan kacang rebus yang memakai baju yang sama setiap kali berdagang di depan restoran mewah samping kantor.


Mungkin saya tidak akan sadar diri dan bersyukur kalau belum melihat perkelahian saling caci dan pukul antara dua orang di tengah jalan.

Mungkin saya tidak akan sadar diri dan bersyukur kalau belum melihat mungkin pencopet dikejar ratusan orang di pinggir pasar.

Mungkin saya tidak akan sadar diri dan bersyukur kalau belum sesekali melihat anak remaja menangis sesenggukan di pojok jembatan penyebrangan.

Mungkin saya tidak akan sadar diri dan bersyukur kalau belum berdesakan dan sesak napas berebut bersama ribuan pekerja setiap menjajal krl dan transjakarta.
http://antondewantoro.wordpress.com/2012/08/31/tips-naik-krl-commuter/
Setiap hari melangkahkan kaki keluar, ada saja kisah yang tak pernah berhenti memberi pelajaran tentang arti hidup. 

Lalu apa? Jetlag betul dengan kehidupan di desa seperti yang saya alami sekarang. Nyaman, adem, senyum dimana mana, tapi tidak membaca adanya semangat juang. Bahkan untuk sekedar memberi ruang pada yang lain untuk memperjuangkan semangat orang lain. Tidak ada yang membicarakan prestasi dan kinerja. Yang ada hanya soal kerja apa dan dimana, dapet kiriman berapa, punya cicilan hutang berapa, perhiasan apa yang dipakai serta seluas apa tanah yang dimiliki. Status sosial. Iya status sosial dan pandangan dari orang lain seakan cukup sebagai baju kebanggaan untuk dipertahankan. Bukankah ini yang sebenarnya disebut sebagai pencitraan? 
Pemandangan sehari-hari di rumah
 Kadang saya rindu dengan sikap acuh dan tak peduli di tengah keramaian orang berlalu lalang. Saya rindu bagaimana rasanya menjadi orang yang dirindukan, saya rindu sebagai orang yang bukan siapa siapa, bukan seorang anak yang melulu dituntut dan dinilai karena orangtua atau pekerjaan yang sedang dijalani. Plis, dont care about me!
Aih, tidak bersyukur betul!

Well, tentu saja ini sangat subyektif.
Sekarang rumah menjadi salah satu pusat pembelajaran selain tempat kerja tentunya. Belajar kini seolah lebih mandiri karena tidak tersedia guru relawan di jalanan seperti di Jakarta. Belajar dari orangtua, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, teman lama, yang jelas bukan pada setiap orang sembarang yang kita temui setiap meninggalkan halaman rumah, bukan. Tapi adakalanya belajar juga dari segerombol pemuda yang putus harapan, genjreng-genjreng dan bau alkohol jauh di seberang rumah.