Senin, 30 Juli 2012

evilplans?

Rencana gila, entah mendapat teladan darimana saya menjadi seorang evil planner. tidak jarang banyak yang menilai saya dengan omongan yang terkesan meremehkan, menganggap saya tidak waras dan kurang realistis.
Katanya setiap orang itu boleh memimpikan apapun? Lantas mengapa tidak bermimpi setinggi-tingginya? Lagipula tidak ada tarif untuk bermimpi.
Katanya kalo mimpi tinggi itu nanti jatuhnya sakit. Ah, pengecut sekali. Bukannya kalo bola dilempar ke tembok dengan lebih keras akan menghasilkan pantulan yang lebih jauh? Sama seperti busur panah yang ditarik lebih kencang dari biasanya keatas akan menghasilkan jarak busur yang maksimal tingginya. Intinya, mimpi yang besar pasti mendorong kita untuk berjuang melebihi dari biasanya.
Kalau buku yang pernah saya baca bilang, lebih baik merencanakan hal yang besar namun gagal mencapainya daripada berhasil mencapai rencana kecil. Sepertinya bule yang membuat statement tersebut juga seorang planner ulung.

Kalau saya memimpikan mempunyai bisnis properti dan kuliner, semua orang seperti mencoba membangunkan saya, tentang modal misalnya. yah, modal darimana? bisa kuliah saja itu sudah untung.
Memangnya kenapa!? toh, saya kuliah saja dulu hanya sebuah mimpi. mimpi segelintir anak kampung terpencil yang sering jadi ocehan temen-temen. seolah saya nggak sadar diri. hello, gue emang anak kampung yang nggak semua signal HP nyangkut dikampung gue, dan Bapak gue cuma PNS biasa, tapi sekarang gue duduk bareng di kursi yang sama dan memperoleh hak yang sama disini sama lo! dan gue punya banyak temen. bonusnya, gue punya mimpi. adalah hal yang bisa menjadi motivasi saya di tanah rantau selama ini.
Lagipula saya punya Tuhan yang baik hati dan punya segalanya. nggak perhitungan lagi buat ngasih sesuatu. ngapain cemas?

Mimpi memang butuh aksi nyata. Ah, ini yang sulit. Ketika saya memimpikan kuliah di ITB, ternyata belajar 16jam sehari saja tidak cukup. untuk anak sekelas saya waktu itu, seharusnya belajar 25jam dalam sehari. supercamp. Yah, itu salah satu cara yang saya tempuh untuk bisa mencapai mimpi kuliah di ITB. sebulan mentoring di Bandung, dibantai dengan materi snmptn yang membuat peradangan otak akut temporer kala itu. tenyata gagal. mimpi kuliah di kampus ganesha gagal. Mungkin memang takdir saya harus di Jokja ini. ternyata gagal memang sakit. 2 semester belum cukup mengobati sakitnya waktu itu. Mungkinkah ini resiko mempunyai rencana gila bisa kuliah di tempatnya putra puteri terbaik bangsa? Ah, sudahlah. gagal itu bagian dari proses. toh mimpi itu masih tetap ada, bangkit itu yang perlu.
Kini, menjelang tahun (kewajiban) lulus, sensitivitas saya meningkat berbicara soal mimpi. Ah, masih ingatkah saya dengan mimpi? mana aksinya?
TA? emang udah kelar?
nyambi kerjaan di BPN? emang cukup?
jualannya? laku nggak?
sedekahnya masih perhitungan nggak?
Ih, makin realistis. Mimpi memang mahal. perlu effort yang maksimal untuk mencapainya. percaya saja tidak cukup. perlu aksi buat make it happen!

Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.
Arai, laskar pelangi.

Minggu, 29 Juli 2012

mengapa harus bisnis?

Bisnis. Saya ingin sekali menggeluti dunia satu itu. 
Buku-buku, acara tivi, obrolan, berita, sampai semua artikel tentang itu sudah mulai saya kepo-in sejak awal kuliah.
Hm, ada satu buku yang belum lama ini saya baca. Jadi kali ini ijinkan saya share beberapa pelajaran yang saya ambil disitu.
Sembilan dari sepuluh pintu rizqi, kata Rasulullah, ada dalam perniagaan.
Kalimat pembuka dalam bab "standar hidup seorang mukmin" dalam buku salah satu penulis ternama Salim A. Fillah tersebut.
Dalam diri seorang pengusaha hampir otomatis ada pembelajaran:
1. Agar menghargai waktu dan kerja keras
Kalau seorang pegawai negeri sipil, mungkin akan sulit mengerti peribahasa time is money, soalnya mau masuk apa cuti, tetap menerima gaji bulanan. Kalau wirausahawan sudah pasti berbeda, nek nggak kerja ya nggak ada uang masuk. Jadi kerjanya kudu semangat untuk melangsungkan hidupnya.

2. Agar mengerti apa itu resiko
Ngobrolin resiko sih nggak ada habisnya kalo jadi wirausaha. Resiko inilah yang mendewasakan. Beda mungkin kalo jadi pegawai kantoran, resikonya paling-paling cuma dipecat.

3. Agar berjiwa merdeka
Kalau lagi pengen kerja, ya kerja, nek enggak yo enggak. Ini pas banget bagi yang suka travelling kemana-mana. Mau pergi kapan saja dan kemana saja tidak ada yang memarahi. Selain itu, wirausaha bisa memaksimalkan kegiatan lainnya, seperti bersosialisasi tanpa batas dilingkungan luar bisnis, melakukan kegiatan pengabdian lain misalnya atau turut menjadi relawan dalam suatu kegiatan. Ini yang juga membuat seorang wirausaha tidak merasa bosan dalam hidupnya. Life is never flat, right?

4. Agar menghargai silaturrahim
Apapun bidang yang ditekuni seorang usahawan, pada hakikatnya ia memberikan pelayanan kepada customer dan partner. Amat terasa disini bahwa silaturrahim menambah rizqi.

5. Agar berwawasan luas
Noise-Informasi-Data-Knowledge-Wishdom
Tingkatan pengetahuan usahawan. Untuk mengambil keputusan, seorang usahawan harus menguasai sampai di tingkat Wishdom seperti alur tersebut.

6. Agar cerdas mengelola anggaran
Untuk orang biasa, meski jatuh tempo suatu utang masih lama misalnya, ia sudah memikirkan untuk segera membayar. Seorang usahawan akan memutarkan kembali modal untuk mendapat laba sebesar-besarnya.

7. Agar bisa belajar kepemimpinana
Dalam memimpin suatu bisnis, selalu ada yang harus ditarik dan diulur. Itu tidak mudah. Tapi ada kunci dasar dalam memimpin manusia. Dan manusia tak hanya memerlukan financial benefit, tapi juga emotional benefit.

8. Agar merasakan indahnya sedekah
Bisa saja hitung-hitungan untuk sedekah jika gaji yang diterima tetap. untuk kebutuhan dapur sekian, listrik sekian, air, dan ditabung sekian. sisanya untuk sedekah. Tapi enterpreneur tidak bisa demikian. Jadilah indahnya sedekah. Kalo rizqi sedang lapang ya sedekah sepuasnya, kalo sedang sempit ya sedekahnya foya-foya. untuk menjemput rizqi ceritanya.

9. Agar lebih peka untuk bersyukur dan bersabar
Gaji tetap. kadang membuat kita berada di wilayah abu-abu. Tidak ada sureprise yang mengajarkan kita bersyukur. Tidak ada hal yang menakjubkan yang tiba-tiba membuat kita bersujud syukur. Dinamisnya, iklim usaha akan mendatangkan kesempatan besar untuk bersabar dan bersyukur. Sensitivitas terhadap kuasa Allah dalam rizqi menjadi terasah.

10. Agar merasakan nikmatnya memberi kemanfaatan bagi banyak orang
Manusia terbaik adalah yang paling banyak kemanfaatannya bagi manusia lain. dengan berwirausaha, kita tentu dapat memberikan manfaat bagi banyak orang. bagi karyawan sehingga dapat menyejahterakan hidupnya dan kelaurganya, bagi negara sehingga dapat membantu dalam mengurangi kemiskinan dan pengangguran.

Sudahkah kita memikirkan sampai disini? Tapi live is a choise! hanya dengan kesungguhan dan keikhlasan, pekerjaan apa saja dalam hidup ini tentu menjadi kesenangan, dan berkah tentunya.
Bismillah..bisnis yuk!?

Jumat, 27 Juli 2012

ramadhan'33 #2

Pulang. 2 kali berbuka dirumah minggu ini. Senangnya..
Sepi. Ramadhan tahun ini dirumah sepi. Sedihnya..
Suasana takbiran yang selalu dinanti seperti angin lalu yang tidak membawa keelokan lagi, tidak seperti dulu.
Entah bagaimana itu terjadi.
Ah, bukankah Allah tidak mengurangi sedikitpun janjiNYA di ramadhan walau bagaimana pun juga? Sepi nggak sepi, puasa nggak puasa tetap saja sama, ramadhan adalah bulan paling istimewa.
http://arhamvhy.blogspot.com/2012/07/10-keutamaan-dan-keistimewaan-bulan.html


Sudah menjadi tradisi dirumah, ibu memasak dibantu saya dan mbak. sebelum saya kuliah, dan sebelum mbak menikah. Kini ibu memasak sendiri saja.
Tapi kemarin, saya kembali mendapat omelan kecil ibu didapur seperti dulu. Memasak. Yah, saya mulai betah didapur dengan omelan ibu karena kekeliruan atau sikap saya yang menurutnya kurang pantas dilakukan didapur. 
Dan mbak sekeluarga datang. Ah, senangnya. Mereka datang karena saya pulang. Saya merasa berharga.
Oh iya, ponakan sudah makin besar, kadang lupa kalo saya sudah jadi "tante". Saya menua, tentu juga dengan Bapak dan Ibu. Hal yang malas untuk disadari.


Dan lagi, nggak nyangka, adek saya udah gede juga. Adek satu-satunya yang lebih pantes jadi cucunya Bapak sama Ibu. Baru masuk kelas 2 SD..dan ini tahun pertamanya berpuasa. Biarpun mulai puasanya dari jam 7 pagi. Tapi saya tetap harus mulai memikirkan hadiah apa yang pantas nanti di tahun ketujuhnya.
Jadi inget beberapa tahun yang lalu, Zulfa, adik saya itu nyeletuk "Pak, surga si nopo?" "Pak, surga itu apa?" Bapak dengan sabarnya ngasih penjelasan yang super familier untuk anak usia empat tahunan waktu itu. Yang jelas saya sampai kesel denger pemahaman adek yang nggak ngerti-ngerti juga waktu itu.
Kasusnya sama saat dia menanyakan "Mbak Indonesia nopo si mbak?" "Mbak Indonesia apaan si mbak?". 
Dengan semangat berapi-api, saya menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara kita, presidennya begini, tempat kelahiran dan kebanggan kita, benderanya begini, 17 Agustus sampai bahasa yang dipake. Tapi sepertinya percuma saja, usia Zulfa waktu itu masih sekitar 5 tahun. "Oh, daleme Jupa niki asmane Indonesia?" "Oh, jadi rumahnya Zulfa ini namanya Indonesia?" Derrrr...*mulai khawatir kalo adek saya salah gaul. Lagian ini anak ambil kesimpulan kalimat saya yang mana coba? baiklah sepertinya Bapak yang harus ambil bagian dalam hal ini.


Yah, biar adek saya bandel, suka ngejambakin saya, suka ngancurin karya saya, suka sinis dan ngejauhin saya, susah mandinya, susah ngajinya, dan susah belajar sholatnya,
Tapi terimakasih ya dek, kamu udah nemenin Bapak sama Ibu dirumah. dan cium pipi karena tahun ini sudah ikut buka sama sahur^^

Rabu, 25 Juli 2012

terbiasa

Pada mulanya tersirat, dengan bahasa dan sudut pandang tertentu saja baru bisa memahami dan membiasakan.

Biasa itu memberikan kesan baik-baik saja. Tapi kadang juga bisa merusak segalanya.
Kebiasaan juga membuat benci tiba-tiba. Apalagi dibiasakan.
Mengapa harus ada biasa hingga ia melupakan hal yang berharga?
Apa bisa menjadi berharga karena dibiasakan?
Oke, dengan pembiasaan yang sering diterima, seringkali memunculkan harapan agung untuk menjadi terbiasa. 
Tapi bukankah tidak semua hal bisa disamaratakan dan dibiasakan? Ah who knows!?

Minggu, 22 Juli 2012

ramadhan'33 #1

Nggak kerasa ini udah bulan ramadhan keempat saya di kota rantau, jokja. Tahun ini jadi ramadhan yang bakalan beda. Sendiri. Kalau tahun-tahun sebelumnya saya masih di asrama berikut suasana yang rame maksimal, sekarang saya tinggal sendiri. Lumayan aneh. Sahurnya dibangunin sama alarm HP, passion buat masak jadi lumayan gede. Dulu godaan terbesarnya ngerumpi sampe sahur, sekarang TV jadi setan utama. Dulu taraweh di masjid itu-itu aja, sekarang saya wara-wiri ke masjid mana aja. Tapi poin positif kalo sendiri itu bisa maksimalin ibadahnya lho ternyata. Biarpun tilawahnya di depan TV. Ups!

Hari pertama puasa kemaren ketemu murabbi, eh langsung ditodong satu menit menulis target selama ramadhan. Wah bener-bener kamu mbak. Ada minimal 5 target yang harus ditulis dalam satu menit itu. Saya menulis 8 target. Ah ternyata menulis target itu tidak semudah membalikan telapak tangan. Takut nggak kesampaian.
Target yang udah banget-banget biasa adalah khatam 30 juz sama rutin Qiyamul lail. Yang lain, berhubung setoran hafalan saya paling minimal kemaren, saya menargetkan hafalan 3 surat dalam sebulan. Ah, padahal tadinya mau 5, apalagi sudah dipatok sebelum wisuda harus sudah hafal juz 30, tapi berhubung ngerjain TA juga, jadi saya ambil 3 aja deh. Hehe. 
Itu adalah satu lagi perbedaan ramadhan saya di tahun ini. Jadi intinya sekarang saya harus bener-bener ngelonggarin pedal rem buat kebut lewatin jalanan. Kalo enggak, saya bakalan ketinggalan terus. 

Malu juga sih, pas dapet materi soal ramadhan kemaren. Ada tiga jenis manusia dalam menyambut bulan ramadhan, pertama dia sambut dengan suka cita dan bersedih kala ramdhan hendak berlalu, kedua adalah manusia yang biasa-biasa saja dalam menyambutnya. istilahnya mau ramadhan apa enggak itu nggak ada bedanya, terus yang ketiga malah sedih kalau bulan ramadhan dateng.
Masuk golongan manusia mana nih kita? Kalo kata acara chatting YM (Yusuf Mansyur), beliau bilang, manusia itu suka luput untuk mensyukuri 2 nikmat, pertama soal kesehatan, yang kedua soal kesempatan. 
Saya pikir momen bulan istimewa ini adalah kesempatan besar untuk mensyukuri kedua nikmat tersebut. Kesempatan luar biasa besar untuk mengambil sebanyak-banyaknya pahala yang Allah tawarkan, sama jaga kesehatan dengan rutin sahur bagi yang punya sakit magh *curhat.

Eh Wiwi udah dateng, hmm.. waktunya belajar masak :D

wisuda #1

“Bapak, ibu, maaf Murni nggak bisa ngejar wisuda bulan Agustus”
Sms saya beberapa hari yang lalu untuk mereka.
Ibu langsung membalas:
“Nggeh mboten nopo2. Tetep semangat” (“Iya nggak apa-apa. Tetap semangat”)
Dan bapak? Tidak membalas secepat ibu. 
“Kok iso? Terus mau kapan?”
Balasan bapak beberapa jam kemudian.
#jlebb.
(Saya ingin membayangkan wisuda)

Jumat, 20 Juli 2012

lagi lagi ekspektasi

Lagi lagi ekspektasi.
Saya sering melupakan ini.
Ketika orang lain menge-judge kita dengan seenaknya, ternyata disadari atau tidak, kita juga sering sesukanya menuntut orang lain untuk bersikap seperti apa yang kita inginkan.
Jika tuntutan itu tidak terpenuhi, kita bakal ngerasa kecewa.
Kita?
Kalo saya iya sih.
Lucu, memang.
Setiap orang punya pilihan dalam hidupnya sendiri kan? Memilih bagaimana untuk bersikap. Suka nggak suka ya begitu.
Lalu, kenapa peduli si.
*this is something i have been understanding

Selasa, 17 Juli 2012

judge

Cuek dan keras kepala. Entah darimana saya mendapat sifat seperti ini. Bukan cuek pada setiap hal memang. Saya pikir Bapak terlalu baik untuk dicap sebagai pribadi yang demikian. Bapak suka nyuruh saya menghentikan aktivitas apa pun saat itu juga untuk menenangkan anak tetangga yang sedang menangis. Bapak nggak tahan denger anak kecil nangis lama-lama. Sungguh. Sedangkan ibu, ah. Ibu terlalu lembut dan sederhana untuk menjadi orang yang disebut cuek apalagi keras kepala.


Katanya, perempuan itu harus lemah lembut, santun dan nurut, sulit.
Kenapa tidak berani, tangguh dan periang? ah, bukan ekspektasi sesorang saja.
Tapi bukankah memenuhi setiap ekspektasi itu sulit? saya pikir.
Terus? be your self? maunya begitu.
Tapi Bapak selalu bisa membesarkan hati, ketika saya down pada judge orang lain terhadap saya, saya hanya mengiyakan ketika beliau bilang "kamu orangnya prinsipil".
Katanya prinsipil itu hanya tidak suka pada kepura-puraan. Pura-pura baik, sok suka, sok nggak suka,  sok imut, sok peduli, sok nggak peduli dan lainnya hanya untuk mendapatkan simpati, atau diterima dalam masyarakat. Maksa.
Kenapa nggak jadi diri sendiri aja sih. Natural gitu. Bukannya memang fitrah setiap orang punya karakternya masing-masing? Ah, ngeles.


Bapak selalu menyampaikan bahwa hidup ini memang keras. Banyak resiko. Penuh perjuangan..yah segalanya nggak bisa didapet dengan gampang gitu. You have to fight for everything.
Lalu? Apa karena itu, saya demikian keras kepala dan tidak ada toleransi pada orang lain yang menggampangkan sesuatu, yang merendahkan usaha orang lain, yang nggak punya effort untuk memperoleh sesuatu dan yang suka minta dikasihanin sama orang lain? Ah.  Wallohua'lam.

Jumat, 06 Juli 2012

pikiran yang terlintas di hari Jum’at bulan Juli


Memasuki awal Juli di semester 6 ini. Harapannya jadi semester terakhir, tapi TA belum kelar juga. ckck
Mira balik kampung ke Sampit buat urusan jadi pager ayu Masnya. Tanggal 3 kemaren dia balik. Sebelumnya si udah dapet kesan perpisahan dari kami para begundal yang malemnya nobar final euro sampai lihat sunrise di Parangtritis.

Malemnya, Anton sms:
“Mur, aku sama Ali ikut proyeknya Pak Karen ke Rembang. Ijin begundal yo,,”
Anton sama Ali ke Rembang. Susah mau bilang Rembang yang e nya dibaca e (kaya ngomong ‘engkau’), lebih gampang nek e nya dibaca e (kaya ngomong ‘ember’). Ah seterah, yang pasti saya nggak tahu Rembang kaya apa.

Hari berikutnya dapet kabar kalo Aris, Dimas sama Lukman bakal ngebolang ke Semeru. Barusan Dimas sms kalo rombongan mereka abis jum’atan di Tumpang, dan selesai saya nulis ini, pasti mereka udah nyampe di Ranu Pane. Ih, ngiri banget!
Semua pergi dengan kepentingan masing-masing. Cepat atau lambat pasti bakal begini sih.

Sisanya? Anita masih setia wara-wiri ke BPN Sleman, Ebes juga lagi sibuk-sibuknya ngurus anak-anak di TK-nya di Bantul. Mau wisudaan 0 besar kayaknya. Kalo Kukuh terakhir ketemu, dia masih kemana-mana bawa tas cangklong yang nggak ada isinya itu.
Nek Widi? Ah ini anak satu mah udah paling sering ngilang buat ngrampungin TA yang tinggal nunggu jadwal ujiannya. Dulu aja dia punya statement gini:
“Awas ya nek kalian selesai duluan TA-nya, aku bakalan bunuh diri”
Yaudah si kita semua dengan semangat berapi-api bilang:
“Yuk cepetin TA kita biar Widi cepet-cepet bunuh diri!”

Tapi, beberapa hari yang lalu saya dipamerin sama tulisan PRAKATA TA-nya, kalo nggak salah ucapan terimakasih urutan ke-6 isinya begini:
“Kepada keluarga Mbambes Anton Waskita, M. Ali Majidhi R, Gilang Yuvian, Lukman Sulaksono, Kukuh Prabowo, Dimas Santoso R, Aris Setiyawan, Anita Tri S, Murni Husada dan Mira Anggraini yang telah memberikan keceriaan, kebersamaan dan arti penting persahabatan”.
Fiks. Tinggal jilid. Dia yang pertama rampung ngerjain TA. Aaaaaa..... benci sama kata-kata fiks-nya Widi!

Dan saya? Ngapain lagi, selain nge-revisi draft dari Pak Raden pembimbing TA saya, ya nungguin Mira dari Sampit yang bakal bawain oleh-oleh khas Kalimantan, nungguin traktiran en ceritanya Anton sama Ali sepulang dari proyeknya di Rembang, nungguin cerita seru sama tagg foto Lukman, Dimas sama Aris dari Mahameru, nungguin Anita merajuk minta temenin survey ke Bantul, nungguin tawarannya Ebes yang katanya mau nemenin saya ambil data ke Semarang, nungguin cerita TA-nya Kukuh sampai mana sama alasan dia bawa-bawa tas kosong terus, nungguin kabar Widi udah dapet kemeja putih buat pendadaran apa belum, dan terakhir saya nungguin kapan Pak Raden pulang dari KKL!


 Lantai 4 Mranggen,
 with the last song “Saat Aku Lanjut Usia” on SO7-playlist

Selasa, 03 Juli 2012

bapak punya cerita #1


“Murni berani ke tempet Mbah Kakung sendiri?”
Pertanyaan Bapak saat saya memasuki sekolah dasar. Tentu dengan aksen ngoko alusnya.
“Enggak..”
“Kalau jadi perempuan itu harus berani..” Bapak melanjutkan.
“Nggeh, Murni wani ah teng nggene Mbah Kakung!” “Oke, Murni berani lah ke rumah Mbah Kakung sendiri”.
Anak Bapak ada tiga dan semuanya adalah perempuan. Saya anak kedua beliau sekaligus anak yang paling bandel dan suka ngeles untuk urusan dimarahi orangtua. Keluarga besar tahu itu. Dan saya satu-satunya anak Bapak yang waktu kecil pernah diperiksakan ke dokter untuk memastikan apa saya benar-benar anak perempuan atau laki-laki. Yah, saya lebih memilih mobil-mobilan daripada boneka barbie, saya lebih memilih keluar main dengan Pak Lik untuk menonton bola di alun-alun daripada main rumah-rumahan dengan mbak atau tidur siang bersama Ibu. Dan saya dulu mempunyai jakun layaknya bocah lelaki. Jakun ini lah yang bapak periksakan karena menurut bapak hal itu tidak wajar dimiliki saya sebagai anak perempuan. Tapi dokter tentu dengan simpul senyumnya memberikan jawaban yang sangat pasti bahwa saya adalah perempuan asli! Dan yang ada di leher saya bukan jakunnya anak laki-laki. Tapi tulang tenggorokan yang menyembul dan bisa hilang seiring dengan waktu. Titik. Meskipun sampai sekarang saya lebih memilih membantu Bapak nyuci motor daripada membantu Ibu dan mbak masak di dapur. Oke, intinya kalau urusan memasak saya sangat nihil. Tanda kutip ‘masih’ nihil.
Dengan latar belakang yang demikian, mungkin wajar saja kalau saya menuruni karakter Bapak yang dominan. Mulai dari fisik, hobi, makanan, kebiasaan sampai cara memandang sesuatu, Bapak lah yang mendominasi pada diri saya. Tapi tempaan orangtua untuk mendidik semua anaknya tidak dibedakan. 
Entah karena Bapak hanya memiliki anak perempuan, atau memang Bapak memiliki ideologi demikian untuk mendidik anak. Bapak selalu menempa anaknya menjadi pribadi yang menurut saya karakter yang harus dimiliki anak laki-laki. Bapak sama sekali tidak memanjakan anak-anaknya. Bahkan mendengar saya mengeluh saja Bapak amat tidak senang. Saya jadi ingat waktu kelas 10 saya kecelakaan motor saat berangkat sekolah.
“Pak, Murni kecelakaan. Ini nabrak angkot yang lagi berhenti di tikungan”
Jawaban Bapak dalam balesan sms begini:
“Masih bisa make motornya buat pulang kan?” 
Teman saya langsung komentar “Bapakmu kok gitu Mur? Nek Bapakku udah pasti nyusulin aku lah saking khawatirnya”
Dengan senyum simpul saya hanya menjawab “I know who he is”.