Jumat, 30 Desember 2011

Truly my name

Tidak asing lagi mendengar kata murni bukan? Entah alasan yang benar atau tidak orang tua saya memberi nama seperti itu. MURNI HUSADA. Nama yang sering ditertawakan. Nama yang sering jadi bulan-bulanan teman-teman satu sekolah. Nama yang sering membuat orang mengernyitkan satu alisnya saat mendengar atau membaca nama itu. Tapi jangan salah, tak jarang juga yang mengakui eksistensi nama saya. Sayangnya hanya namanya saja. Bukan orangnya. hehehe

           Saya tidak pernah merasa malu atau iri dengan nama-nama yang berbau arab misalnya, seperti Annisa, Azizah, Nur, Arrahmah, Aisyah, Husna dsb. Atau nama-nama beraroma keraton. Kaya Sekar, Kunthi, Ajeng, Sakti dsb. Meski saya sering membatin ‘What a nice name!

Ayah saya bilang, saya diberi nama itu biar saya sehat selalu. Ya terkabul, saya jarang sakit waktu kecil. Akibatnya ya sampai sekarang gak bisa minum obat! Musti kaya anak bayi kalau mau ngobat. Itu saja masih muntah-muntah setelah meminumnya,,.jadi berharap terciptanya obat manis!

           Pernah dengar jajanan susu yang musiknya melantunkan “susu murni nasional” ?? pernah pasti. Yah tiap saya lewat depan teman-teman, mereka akan kompak menyanyikan lagu itu. Belum lagi celotehan bensin murni, tempe murni, roti murni, es murni sampai pabrik sari husada dsb.

           Pendapat lainnya ketika saya ikut bimbel SD, cie bimbel..waktu SD si nyebutnya les. Terlalu eksklusif sekali mengatakan bimbel. Sang pengajar mangatakan nama kok Murni Husada. Nama yang aneh.

Saya tak pernah ambil pusing soal pernyataan seperti itu atau apalah, sampai-sampai masuk kuliah, dan bertemu dengan asisten praktikum. Praktikum pertama. Biasalah perkenalan. Ada tiga asisten yang mengomentari nama saya yang membuat gaduh acara praktikum. Gaduh? Terlalu lebay sih… 

Asisten Penginderaan Jauh Dasar yang berinisial A, mengatakan “Murni Husada? Dirumah punya pabrik susu ya kok namanya begini?” hahaha… saya ikut tertawa.

         Hari berikutnya, asisten Meteorologi dan Klimatologi yang berinisial G mengatakan “Murni Husada? Ayahmu dokter ya?” hanya membuat saya memicingkan alis ke atas. Mungkin obsesi ayah saya semasa muda! Batin saya.

         Asisten Penggunaan Peta yang berinisial B menyebut nama saya sebagai anak laki-laki hingga tak menggubris saat saya acungkan tangan hendak menunjukkan diri. Ini lho saya!cewek tulen!hehehe

Kalau teman-teman saya lain lagi. Mereka menanyakan rumah sakit kelahiran. “Apa kamu lahir di Rumah sakit Husada? Atau ibumu bidan?” Begitu kata mereka. Padahal saya tidak memiliki keturunan dokter atau bidang kesehatan sama sekali.

        Pernah juga waktu saya mau cabut gigi di RS Sarjito. Absen di bagian resepsionis. “Mba Murni Husada? Fakultas kedokteran ya??” wah si bapak mau ngejek apa mang pura-pura gak baca fakultas geografi di kartu GMC?ckckckck..pasti pengaruh nama saya! Ucap saya dalam hati dengan PDnya..

Ada lagi yang membuat saya geli. Pas saya mudik naik kreta prameks. Kenalan sama orang, saya sebut aja nama lengkap. Walhasil tu mas-mas diem bentar. Trus bilang “apa kamu anaknya yang punya Rumah sakit Purwa Husada Purworejo?? Hahahahaha…tawa saya makin keras saja! saya jawab aja.. Alhamdulillaaaah!

           Dan yang terakhir yang membuat saya makin merasa aneh dengan label Murni Husada, ada teman kampus yang iseng. Dia ijin pada saya waktu itu, dia suka baca koran Kedaulatan Rakyat. Di sana ada rubrik yang namanya ‘benar-benar terjadi’. Dia mau ngirim nama saya kesana dengan alasan begini: “Mur aku iseng googling nama kamu, eh ternyata nama kamu itu nama apotik yang ada di Pati” dia pun menunjukkan alamat apotik itu lengkap dengan RT RWnya.wahwahwah…Apotik Murni Husada!’ mungkin pantas dimuat.

Dan benar saja!dia mengirimkan nama saya ke redaksi KR untuk mengisi halaman ‘benar-benar terjadi’ soal dimuat atau tidaknya saya tak tahu. Sepertinya tidak. Atau…belum mungkin. Entahlah.



            Yaudah si tunggu aja, akan ada kisah apa lagi soal nama saya ini^^

Rabu, 20 Juli 2011

ekspedisi semesta Lawu

Kesombongan puncak Lawu berhasil kami pijak dengan mantap! Peluh, lelah, dahaga, dingin yang sedari tadi menggerogoti tubuh kami terbayar dengan cash. Angin tidak begitu berpengaruh pada saat itu. Hanya saja suntikan dingin yang terus menusuk kulit, sesekali menggetarkan tubuh kami. Gunung Lawu ini memang terkenal dengan keserakahannya menyimpan pesona dingin dibandingkan dengan gunung lainnya. Jaket, sarung tangan, syal, topi dan segala macam aksesoris pendaki tidak juga mempan menaklukan pesona itu. 

         Jalur pendakian tangga batu yang melingkar memberikan kesan anggun dibalik keserakahan puncak Lawu. Jalur seperti ini memang cocok bagi pendaki pemula seperti kami. Tapi siapa sangka batu seperti ini yang nanti akan sangat menyakitkan para pendaki saat mereka mencoba meninggalkan puncaknya. Semacam perasaan berat melepas kepergian para pendaki darinya. Itulah pemikiran enteng yang terlintas saat kami berusaha menerjemahkan rasa sakit pada ujung-ujung telapak kaki kami kemudian. Saya, Mung, Puji, Ebes, Ali, Lukman, Anton, Denis, Widi, Dimas dan Aris.

          Pesona dingin puncak Lawu tidak mengalahkan pesona lainnya disana. Sepanjang ingatan saya, angin tidak pernah meniupi wajah kamiseindah tiupan angin Lawu. Puji syukur pada penguasa Azza wa Jallatentunya yang tidak henti-henti menaburkan kasihnya sampai detik dimana kami dapat melihat jutaan uap yang menggumpal seumpama lautan awan didepan mata kami. Sangat dekat. Juga ketika DIA mengijinkan kami untuk melihat matahari datang dan pergi patuh menuruti perintahNYA di tempat yang sungguh menakjubkan. Hawa dingin kian terlupakan saat kami semua bergabung menapaki tugu di puncak Lawu. 3265 mdpl. Tugu yang mengibarkan merah putih dengan anggun itu tidak banyak bicara untuk memastikan bahwa dirinya mempesona.

Terlalu mempesona hingga perjuangan sedikit saja tidak akan sanggup menemuinya. Perlu perjuangan yang luar biasa. Menaiki ribuan anak tangga, meneteskan keringat, dan tak terhitung lagi tarikan napas yang wajib dihirup untuk melakukan pendakian. Pos demi pos terlalui dengan suka cita. Dan dinginnya? Sesekali bertandang ditengah-tengah istirahat kami di tiap pos.But whatever feels like, I was happy to be there!

Terbang tinggi ke awan.. Mungkin ada yang bisa ku temukan..
Menyebrangi ilalang.. Walaupun jauh yang harus ku tempuh..
Jalan masihlah panjang.. Banyak keinginan yang dilupakan..
Masih harus berjuang.. Percayalah masih ada banyak harapan..
(Serdadu Kumbang *Ipang)