Jumat, 01 Juni 2012

I Quit

“Pak, Murni stress.. Pengin pulaaaaang.. T____T
“Besok po?”
“Nggeh”
“Wudlu sanah, shlt trs baca Quran, gitu kok repot?!! Bsk Bp bs jmputnya siang”
“Mboten usah dijemput”
“Oke, ati2”
     Like always. Balesan sms beliau selalu sama menghadapi anaknya ini, dan beliau tahu apa yang sedang terjadi. Beliau tahu yang sedang saya inginkan adalah pulang kerumah mendengar omelan atau remehannya soal masalah yang sedang saya hadapi. Hanya itu. Rumah masih jadi tempat penguat hati nomer wahid sejauh ini.
      Sepulangnya setelah beliau memastikan saya sedang tidak baik-baik saja, obrolan 20 menit dimulai. Waktu dengan Bapak menjadi obat kuat hati yang super manjur. Nyatanya, saya sama sekali tidak merasakan sesak seperti sebelum bertemu beliau. Bapak memang tidak pernah memberi tisu saat airmata ini berjatuhan, tidak seperti ibu yang akan menangis lebih keras kalau saya menangis dihadapannya. Tapi apapun yang mereka lakukan, mereka pemenangnya dalam menenangkan seratus persen hati saya. Dalam kasus seperti yang sudah-sudah, mereka memang menjadi pilihan terakhir untuk didatangi. Ini karena saya berjauhan dengan mereka. Selain temen-temen kuliah yang sudah saya anggap lebih dari sekedar temen, temen SMA yang kuliah di jokja dan selanjutnya Murabbi yang selalu siaga 1 jika saya ada masalah apa-apa, rumahlah sebagai penentu level ke-stres-an saya. Jadi jika saya sudah menjajaki ketiga tempat mengadu tadi tapi masalah masih tetap berat, maka saya menyerah. Saya harus pulang.
          My father is my hero, because heroes are selfless people who perform extraordinary acts, like my father exactly, and so does my Mom.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar