“Murni berani ke tempet
Mbah Kakung sendiri?”
Pertanyaan Bapak saat
saya memasuki sekolah dasar. Tentu dengan aksen ngoko alusnya.
“Enggak..”
“Kalau jadi perempuan
itu harus berani..” Bapak melanjutkan.
“Nggeh, Murni wani ah
teng nggene Mbah Kakung!” “Oke, Murni berani lah ke rumah Mbah Kakung sendiri”.
Anak
Bapak ada tiga dan semuanya adalah perempuan. Saya anak kedua beliau sekaligus
anak yang paling bandel dan suka ngeles untuk urusan dimarahi orangtua. Keluarga
besar tahu itu. Dan saya satu-satunya anak Bapak yang waktu kecil pernah
diperiksakan ke dokter untuk memastikan apa saya benar-benar anak perempuan
atau laki-laki. Yah, saya lebih memilih mobil-mobilan daripada boneka barbie,
saya lebih memilih keluar main dengan Pak
Lik untuk menonton bola di alun-alun daripada main rumah-rumahan dengan
mbak atau tidur siang bersama Ibu. Dan saya dulu mempunyai jakun
layaknya bocah lelaki. Jakun ini lah
yang bapak periksakan karena menurut bapak hal itu tidak wajar dimiliki saya
sebagai anak perempuan. Tapi dokter tentu dengan simpul senyumnya memberikan
jawaban yang sangat pasti bahwa saya adalah perempuan asli! Dan yang ada
di leher saya bukan jakunnya anak laki-laki. Tapi tulang tenggorokan yang menyembul
dan bisa hilang seiring dengan waktu. Titik. Meskipun sampai sekarang saya
lebih memilih membantu Bapak nyuci motor daripada membantu Ibu dan mbak masak
di dapur. Oke, intinya kalau urusan memasak saya sangat nihil. Tanda kutip
‘masih’ nihil.
Dengan
latar belakang yang demikian, mungkin wajar saja kalau saya menuruni karakter Bapak
yang dominan. Mulai dari fisik, hobi, makanan, kebiasaan sampai cara memandang sesuatu, Bapak
lah yang mendominasi pada diri saya. Tapi tempaan orangtua untuk mendidik semua
anaknya tidak dibedakan.
Entah karena Bapak
hanya memiliki anak perempuan, atau memang Bapak memiliki ideologi demikian
untuk mendidik anak. Bapak selalu menempa anaknya menjadi pribadi yang menurut
saya karakter yang harus dimiliki anak laki-laki. Bapak sama sekali tidak
memanjakan anak-anaknya. Bahkan mendengar saya mengeluh saja Bapak amat tidak
senang. Saya jadi ingat waktu kelas 10 saya kecelakaan motor saat berangkat
sekolah.
“Pak, Murni kecelakaan.
Ini nabrak angkot yang lagi berhenti di tikungan”
Jawaban Bapak dalam balesan sms begini:
“Masih bisa make
motornya buat pulang kan?”
Teman saya langsung
komentar “Bapakmu kok gitu Mur? Nek Bapakku udah pasti nyusulin aku lah saking
khawatirnya”
Dengan senyum simpul
saya hanya menjawab “I know who he is”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar