Jakarta memang keras dan penuh
dengan ambisi. Ambisi dan semangat juang yang tidak hanya terlihat dari gedung
pencakar langit yang angkuh, atau wara-wiri dan sorotan mata pekerja yang tak
saling sapa.
Semangat juang juga ditunjukkan pada sosok sosok pinggiran yang
selalu menuntut perhatian. Sosok sosok ‘terbuang’ yang selalu ‘dianggap’
mengotori ibukota. Joki, pengemis, pedagang keliling dan tentu saja pengamen.
Belum lagi yang merangkap sebagai copet, penipu atau tukang todong. Semangat
juang yang entah hanya sekedar menyambung hidup atau memperkaya diri.
Semangat juang yang tentu pada
suatu titik akan membuat saya sadar dan deg, thats life. Dan saya belajar lagi untuk memahami hidup dari mereka.
Mungkin saya tidak akan sadar
diri dan bersyukur kalau belum bertemu dengan para joki 3 in 1 yang hampir
setiap pekan sekali di hadapan saya, mereka berlarian dan menghalau pukulan serta
teriakan para satpol pp.
|
http://www.jakpro.id/wp-content/uploads/2014/05/pengemis.jpg |
Mungkin saya tidak akan sadar
diri dan bersyukur kalau belum bertemu dengan para pengamen cilik yang
menantang bahaya berkejaran diantara kopaja satu dengan kopaja lainnya untuk
mendapatkan recehan.
|
http://ladeva.wordpress.com/tag/pengamen/ |
Mungkin saya tidak akan sadar
diri dan bersyukur kalau belum bertemu dengan orang turun dari taksi yang
kemudian berganti baju rombeng di belakang halte sebelum mengemis di pinggiran
masjid.
|
http://www.merdeka.com/jakarta/ramadan-pengemis-berkedok-penyapu-jalan-marak-di-jakarta.html |
Mungkin saya tidak akan sadar
diri dan bersyukur kalau belum melihat pedagang kerupuk dan kacang rebus yang
memakai baju yang sama setiap kali berdagang di depan restoran mewah samping
kantor.
Mungkin saya tidak akan sadar
diri dan bersyukur kalau belum melihat perkelahian saling caci dan pukul antara
dua orang di tengah jalan.
Mungkin saya tidak akan sadar
diri dan bersyukur kalau belum melihat mungkin pencopet dikejar ratusan orang
di pinggir pasar.
Mungkin saya tidak akan sadar
diri dan bersyukur kalau belum sesekali melihat anak remaja menangis
sesenggukan di pojok jembatan penyebrangan.
Mungkin saya tidak akan sadar
diri dan bersyukur kalau belum berdesakan dan sesak napas berebut bersama
ribuan pekerja setiap menjajal krl dan transjakarta.
|
http://antondewantoro.wordpress.com/2012/08/31/tips-naik-krl-commuter/ |
Setiap hari melangkahkan kaki
keluar, ada saja kisah yang tak pernah berhenti memberi pelajaran tentang arti
hidup.
Lalu apa? Jetlag betul dengan
kehidupan di desa seperti yang saya alami sekarang. Nyaman, adem, senyum dimana
mana, tapi tidak membaca adanya semangat juang. Bahkan untuk sekedar memberi
ruang pada yang lain untuk memperjuangkan semangat orang lain. Tidak ada yang
membicarakan prestasi dan kinerja. Yang ada hanya soal kerja apa dan dimana, dapet
kiriman berapa, punya cicilan hutang berapa, perhiasan apa yang dipakai serta
seluas apa tanah yang dimiliki. Status sosial. Iya status sosial dan pandangan
dari orang lain seakan cukup sebagai baju kebanggaan untuk dipertahankan.
Bukankah ini yang sebenarnya disebut sebagai pencitraan?
|
Pemandangan sehari-hari di rumah |
Kadang saya rindu dengan sikap
acuh dan tak peduli di tengah keramaian orang berlalu lalang. Saya rindu
bagaimana rasanya menjadi orang yang dirindukan, saya rindu sebagai orang yang
bukan siapa siapa, bukan seorang anak yang melulu dituntut dan dinilai karena
orangtua atau pekerjaan yang sedang dijalani. Plis, dont care about me!
Aih, tidak bersyukur betul!
Well, tentu saja ini sangat
subyektif.
Sekarang rumah menjadi salah satu
pusat pembelajaran selain tempat kerja tentunya. Belajar kini seolah lebih mandiri
karena tidak tersedia guru relawan di jalanan seperti di Jakarta. Belajar dari orangtua,
guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, teman lama, yang jelas bukan pada setiap
orang sembarang yang kita temui setiap meninggalkan halaman rumah, bukan. Tapi
adakalanya belajar juga dari segerombol pemuda yang putus harapan,
genjreng-genjreng dan bau alkohol jauh di seberang rumah.